Sabtu . 20 April 2024

Waspadai Dampak Kampanye Hitam Sawit RI di Luar Negeri

2018-10-10

Kampanye negatif Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) asing terhadap industri sawit Indonesia, sudah sangat mengganggu dan akan berdampak luas terhadap neraca perdagangan.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, kampanye negatif itu banyak dilakukan LSM asing yang tidak terdaftar di pemerintah.

Bhima mengingatkan pemerintah untuk menjaga komoditas sawit dari gangguan. Bukan hanya untuk menjaga komoditas sawit, tetapi juga menjaga iklim investasi luar negeri.

"Jika pemerintah tidak menjaga komoditas seperti sawit dari gangguan, maka nasib sawit akan seperti komoditas rempah-rempah yang sekarang kita dengar cerita kejayaannya saja", ujarnya pada acara Forum Jumalis Sawit tentang Dampak Kampanye Non Govermental Organization (NGO) Bagi Ekonomi Indonesia, di Jakarta, Selasa (9/10/2018) kemarin.

Menurut Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) Sudarsono Soedomo, seringkali LSM asing melontarkan tuduhan tidak jelas dalam kampanye negatifnya terhadap produk kehutanan dan sawit Indonesia.

"Sebaiknya pemerintah segera melakukan investigasi kepada LSM asing yang selama ini melakukan kampanye negatif dan mengganggu perekonomian Indonesia," tuturnya.
Anggota Komisi IV DPR RI Firman Subagyo meminta Kementerian Luar Negeri mengambil langkah tegas, agar aktivitas LSM asing tidak semakin mencoreng produk sawit. 

"Kampanye negatif mereka membuat produk kita tercoreng. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Luar Negeri harus tegas," ujarnya. 

Menanggapi dukungan terhadap Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Soedarmo menegaskan, pengelolaan sawit adalah hak negara Indonesia. Kedaulatan ini tidak bisa diganggu. 



"LSM asing tidak bisa seenaknya menuduh sawit melanggar aturan. Karena pemerintah mempunyai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)", pungkasnya.

Bagi Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian ( Kementan ) Bambang, kampanye hitam terhadap industri sawit nasional merupakan bagian dari persaingan dagang.

"Upaya sistematis ini jelas mengganggu eksistensi Indonesia di pasar global", katanya.

Sepanjang Agustus 2018 lalu volume ekspor minyak sawit (CPO, PKO dan turunannya), oleochemicol dan biodiesel, membukukan rekor tertinggi selama sejarah ekspor bulanan yakni mencapai 3,3 juta ton.
Penjualan ke pasar dunia untuk minyak sawit mencapai 2,99 juta ton, atau terbesar sepanjang 2018. India menjadi negara dengan kontribusi pembelian terbesar mencapai 823 ribu ton.

Tingginya permintaan sawit dari India dipicu perselisihan dagang antara India dan Amerika Serikat (AS). Sejak Juni, India menaikkan tarif bea masuk impor crude and refined products kedelai, bunga matahari, kacang tanah, dan rapeseed . Masing-masing 35% untuk refined products dan 45% untuk crude grades.

Padahal, selama ini Negeri Bollywood itu merupakan pasar besar bagi produk minyak nabati AS, minyak kedelai.

"Dengan kebijakan proteksionisme itu, pasokan produk minyak nabati dari AS tersendat. Indonesia pun mengambil peluang untuk mengisi kekosongan minyak nabati di India", ungkap Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Mukti Sardjono dalam keterangan tertlisnya beberapa waktu lalu.
Pada tahun 2017 nilai ekspor minyak sawit Indonesia juga merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah ekspor sawit Indonesia, sebesar 22,97 miliar dollar AS. Angka ini naik 26 persen dibandingkan pada tahun 2016 yang mencapai 18,22 miliar dollar AS.

Hampir semua negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia mencatatkan kenaikan permintaan. Adapun negara tujuan ekspor utama minyak sawit Indonesia adalah India, China, Pakistan, Banglades, AS, Uni Eropa, hingga Afrika.
(sumber:finance.detik.com)